Dampak Pandemi Virus Corna Terhadap PSSI – Pandemi corona COVID-19 yang melanda seantero dunia menghantam berbagai sendi-sendi kehidupan manusia. Resesi ekonomi global tak bisa dihindari. Industri sepak bola, salah satu elemen yang ikut terkena imbas wabah penyakit yang mematikan ini. Sepak bola Indonesia ikutan ambruk gara-gara penyebaran virus yang tak terkendali.
Hampir semua event-event sepak bola berhenti total. Mulai dari kompetisi profesional di banyak negara hingga laga-laga resmi internasional gawean FIFA. slot gacor
Dampak nyata dari penghentian perputaran uang industri
bal-balan ikut mati. Klub-klub kaya Premier League, La Liga, Serie A,
ramai-ramai menggergaji gaji para pemainnya agar terhindar dari kebangkrutan.
Sepak bola Indonesia ikut terseret dalam pusara krisis. Kompetisi kasta elite Shopee Liga 2020 dan kompetisi turunannya Liga 2 berhenti total. Padahal, klub-klub baru menjalani pertandingan dalam hitungan jari kecil. americandreamdrivein.com
PSSI sebagai induk semang sepak bola di negara kita bereaksi
cepat.
PSSI telah menerbitkan putusan terkait kompetisi musim 2020
di tengah pandemi virus corona. Kompetisi itu sendiri meliputi Liga 1 dan Liga
2 2020.
Dalam salinan surat PSSI yang diterima, terdapat enam butir
putusan. Surat tersebut ditandatangani oleh Ketua Umum PSSI, Mochamad Iriawan.
Salah satu putusan yang menarik perhatian adalah, tidak
tertutup kemungkinan PSSI menghentikan kompetisi secara total. Ini akan
dilakukan jika status darurat COVID-19 masih diperpanjang oleh pemerintah
melebihi 29 Mei 2020.
Jika kurang dari itu, PSSI memerintahkan PT Liga Indonesia
Baru (LIB) selaku operator kompetisi untuk kembali menjalankan liga.
“Statusnya force majeure, dalam arti ikut tanggap
darurat virus corona (COVID-19) dari Pemerintah Republik Indonesia sampai
tanggal 29 Mei 2020. Jika Pemerintah RI memperpanjang tanggap darurat maka
kompetisi diberhentikan,” demikian bunyi petikan surat itu.
“Namun jika tanggap darurat tidak diperpanjang
kompetisi dijalankan pada 1 Juli 2020,” tambah surat tersebut tertanggal
27 Mei 2020. Sebagai informasi, PSSI telah menghentikan kompetisi sejak 16
Maret lalu.
Awalnya, penghentian kompetisi dilakukan selama dua pekan,
namun diubah hingga waktu yang belum ditentukan.
“Hal-hal terkait teknis termasuk namun tidak terbatas
pada penjadwalan, sistem dan format kompetisi, kewajiban klub terhadap pihak
ketiga, sistem promosi dan degradasi, akan diatur kemudian dalam Surat
Keputusan yang terpisah,” tulis PSSI dalam suratnya.
“Surat Keputusan ini mulai berlaku terhitung sejak
tanggal ditetapkan, dengan ketentuan apabila kemudian hari ternyata terdapat
kekeliruan dalam Surat Keputusan ini, maka akan diadakan perbaikan sebagaimana
mestinya.”
Keputusan yang pastinya menohok bagi klub-klub peserta, yang
bertahan hidup dan memutar rumah tangga organisasi dari berputarnya kompetisi.
Sebelumnya PSSI juga menginstruksikan, klub peserta Liga 1
dan Liga 2 dapat melakukan perubahan kontrak kerja yang disepakati antara klub
dan pemain, pelatih serta ofisial atas kewajiban pembayaran gaji di bulan
Maret-Juni 2020 yang akan dibayarkan maksimal 25 persen dari kewajiban yang
tertera di dalam kontrak kerja.
Surat itu dimaknai berbeda-beda oleh petinggi klub.
Pemotongan gaji bervariasi. Ada klub yang ekstrem macam Persita Tangerang yang
hanya mau membayarkan 10 persen gaji ke para pemain dan ofisial tim.
Pemain yang jadi korban bergolak. Asosiasi Pesepak Bola
Profesional Indonesia (APPI) yang merasa
tidak dilibatkan PSSI dalam perumusan keputusan pemotongan gaji protes keras.
Organisasi yang dipimpin Firman Utina kemudian meminta bantuan FIPro,
organisasi internasional yang mewadahi pesepak bola. FIPro langsung menyurati
PSSI, mempertanyakan kenapa mereka tidak melibatkan APPI.
Pengurus teras PSSI gusar dengan situasi ini. Salah satu
anggota Komite Eksekutif PSSI, Yoyok Sukawi, yang juga berstatus pemilik klub
PSIS Semarang melontarkan kalimat nyinyir soal protes pemain berkaitan
pengurangan gaji.
Pria yang juga berstatus anggota DPR RI itu berujar pemain
semestinya tak boleh protes. Gaji yang mereka terima setelah dipotong masih
bisa dipakai buat hidup, di atas rata-rata kebanyakan orang Indonesia. Yoyok
menggunakan bahasa satir: gaji pemain bola sebulan bisa dipakai untuk memberi
makan orang sekampung.
Reaksi yang sangat wajar. Klub juga jadi pihak yang
menderita dengan pandemi corona COVID-19. Rancangan bisnis mereka yang
melibatkan pihak ketiga, sponsor buyar! Mereka tidak mendapat pemasukan sama
sekali dari hasil penjualan tiket pertandingan karena kompetisi dihentikan.
Dan benar, kata Yoyok gaji pemain-pemain Liga 1 di atas
rata-rata penghasilan orang biasa. Kisarannya menembus 1 hingga 2 miliar rupiah
per musim. Saat teken kontrak, mereka sudah mendapat uang muka yang dipotong
dari keseluruhan kontrak bervarisasi antara 10 hingga 25 persen. Intinya pemain
masih bisa hidup.
APPI tak mau kalah dalam beragumen, mereka menyebut
perjuangan mereka didasari fakta banyak di antara pesepak bola, terutama di
kompetisi kasta kedua, bakal menerima gaji di bawah UMR ketika klub menjalankan
intruksi PSSI.
Suara-suara yang meminta PSSI lebih baik menghentikan
kompetisi mulai bermunculan.
“Saya tak mau berandai-andai. Lebih baik, kompetisi
2020 di-shutdown (dihentikan). Kita restart sepak bola Indonesia ke 2021,
sehingga pemain dan klub dapat kepastian dan fokus ke musim 2021,” kata Haruna
Somitro, manajer Madura United.
Wajar jika klub berkeras untuk memotong gaji pemain. Mereka
dibayangi trauma penghentian kompetisi pada musim 2015 silam. Saat itu
kompetisi disetop paksa Kemenpora, Imam Nahrawi, yang terlibat konflik dengan
Ketua Umum PSSI, La Nyalla Mattalitti.
Dampak kerusakannya menyebar ke mana-mana. Karena tak siap
dengan aturan pendukung di saat menghadapi kondisi, klub-klub terlibat utang
dalam jumlah besar hingga bertahun-tahun.
“Saya trauma bertahun-tahun kalau mengingat kejadian
itu. Saya dikejar-kejar banyak orang, utang klub ada di mana-mana. Bagaimana mau
membayarnya? Persija tidak punya pemasukan, kesepakatan sponsorship buyar
semua,” komentar Ferry Paulus yang beberapa tahun lalu menjabat sebagai
Presiden Persija.
Mochamad Iriawan
alias Iwan Bule yang kurang dari setahun menahkodai PSSI, perlu belajar dari
sejarah. Bukan bermaksud menakut-nakuti, pandemi corona COVID-19 bisa jadi
lonceng kematian bagi sepak bola nasional.
Ribuan pesepak bola yang mengantungkan hidup dari merumput
di lapangan terancam kehilangan periuk nasi. Cerita-cerita sedih, mereka
berjualan
Iwan Bule dkk. melontarkan ide perubahan format kompetisi
menjadi turnamen untuk mengakali durasi waktu yang terbuang karena pandemi.
Sepintas gagasan ini brilian, menjadi sebuah solusi untuk
menghindari matinya roda bisnis sepak bola Indonesia. Lewat sebuah turnamen,
Indonesia dengan cara instans bisa memunculkan klub-klub yang menjadi wakil di
ajang AFC. Benarkah sesederhana itu?
Kalau kita telaat lebih dalam ide ini bisa menyimpan bom
waktu yang punya daya ledak tinggi.
Pertanyaan mencuat: apakah PSSI sudah mengajak bicara pihak
sponsor dan pemegang hak siar berkaitan dengan solusi ini?
Konsep kompetisi dan turnamen berbeda. Mulai dari durasi
waktu, format pertandingan, aturan main dsb. Besaran uang sponsorship otomatis
bakal tereduksi seiring perubahan tersebut. Apakah Shopee sebagai sponsor utama
serta Grup EMTEK sebagai pemegang hak siar setuju dengan tetek-bengek perubahan
ini?
Mereka tentu perlu menghitung ulang kalkukasi ekonomis
penyelenggaraan sebuah turnamen pengganti kompetisi. Ya, bisa saja PSSI dengan
gampang saja mengambil jalan tikus, membatalkan kesepakatan lawas dengan para
mitra mereka dengan alasan force majeure, untuk kemudian mereka mencari kolega
bisnis baru untuk mendanai turnamen ini.
Tapi tentu keputusan ini bakal jadi preseden buruk. PSSI
tidak memproteksi mitra-mitra bisnis mereka yang bertahun-tahun mendukung
pendanaan aktivitas organisasi.
Melihat hal itu, perusahaan-perusahaan lain mungkin bakal
jiper diajak bekerja sama. Itu dengan logika dasar masih ada mitra kakap yang
masih mau diajak kerja sama. Di tengah resesi ekonomi global imbas pandemi
corona, banyak perusahaan-perusahaan besar ngos-ngosan bertahan hidup. Lantas
dari mana PSSI dapat uang memutar turnamen?
Di tengah kepusingan mencari solusi terbaik mempertahankan
eksistensi kompetisi, Mochamad Iriawan, diberondong masalah baru. Sekjen PSSI,
Ratu Tisha, pada Senin (13/4/2020) secara mendadak mengumumkan pengunduran
dirinya.
Ratu Tisha, yang baru tiga tahun terakhir berkecimpung di
PSSI, kelihatannya jengah melihat kondisi internal federasi. Wanita asal Banten
yang punya rapor mentereng sukses memenangi bidding Indonesia sebagai tuan
rumah Piala Dunia 2021, terjebak dalam situasi tak mengenakkan di bawah rezim
baru kepengurusan PSSI.
Pendiri lembaga statistik olahraga Labbola tersebut jadi
didapuk sebagai Sekjen PSSI di era kepengurusan Edy Rahmayadi. Ia jadi sosok
vital mengendalikan organisasi di saat Edy tiba-tiba mengundurkan diri pasca
kegagalan Timnas Indonesia di Piala AFF 2018 plus ditambah prahara kasus hukum
match fixing yang mendera pengganti sementaranya, Joko Driyono.
Bukan rahasia lagi,
sudah menjadi kebiasaan umum di PSSI, posisi sekjen amat strategis dan kental
dengan aroma politis. Oran-orang yang menduduki posisi ini adalah figur-figur
kepercayaan orang nomor satu di PSSI. Mereka adalah sosok-sosok yang selalu
bumber sang ketua dalam bereaksi dengan dunia luar. Baik dengan media,
stakeholder olahraga, otoritas sepak bola internasional.
Para sekjen merepresetasikan sebuah rezim di PSSI. Mungkin
hanya seorang Nugraha Besoes, yang dilahirkan sebagai sekjen tangguh, yang bisa
tetap kukuh di posisinya di tiga kepengurusan PSSI: Kardono, Azwar Amaz, Nurdin
Halid. Sisanya berumur pendek, karena mereka figur yang merepresentasikan
kekuasaan sebuah rezim.
Tri Goestoro, Halim Mahfudz, Joko Driyono, hingga Azwan
Karim, jabatannya sebagai sekjen berumur pendek mengikuti rezim kepengurusan yang
mengangkat mereka. Ratu Tisha mungkin jadi contoh terkini.
Dicap bagian rezim Edy Rahmayadi dan Joko Driyono, wanita
bergelar FIFA Master tersebut, diprediksi sejak awal bakal lengser cepat di era
kepengurusan Mochamad Iriawan yang ingin melakukan perubahan perwajahan di
PSSI.
Tanda-tanda terpinggirkannya Tisha sudah terlihat sejak awal
kepengurusan berjalan. Ia yang sebelumnya kerap muncul ke publik, mendadak
hilang di telan bumi. Mencuat rumor kalau hal itu merupakan instruksi Iwan Bule
langsung, yang menginginkan sosok Cucu Soemantri yang jadi corong organisasi ke
publik.
Permohonan maaf terbuka Iwan Bule seusai protes anggota DPR,
Djohar Arifin Husin, soal beberapa hal berkaitan kinerja Ratu Tisha dalam Rapat
Dengar Pendapat baru-baru ini, mempertegas kalau sang presiden federasi sudah
tak menginginkan jasa sang sekjen.
Permintaan maaf terkesan naif, ketua PSSI seperti lupa bahwa
protes dilakukan Djohar yang notabene pernah jadi bagian rezim di PSSI yang
disingkirkan gerbong Joko Driyono. Ia tidak memproteksi bawahannya dari aksi
balas dendam orang yang pernah sakit hati di masa lalu. Amat disayangkan.
Sebenarnya wajar saja jika Iwan Bule menginginkan sosok
sekjen baru, sesuai ekspekstasinya. Lepas dari kinerja Tisha yang mentereng dan
ia amat dicintai publik, secara fair kinerja wanita kelahiran 30 Desember 1985
masih punya banyak catatan.
Di eranya menduduki posisi sekjen, sejumlah kasus pengaturan
skor di pentas kompetisi terjadi. Di sisi lain prestasi Timnas Indonesia di
event internasional Piala AFF 2018 dan Kualifikasi Piala Dunia 2022 juga
jeblok. Ia bagian dari rezim yang gagal. Intinya wanita lulusan ITB itu juga
bukan sosok sempurna, walau tak terbantahkan ia sosok yang cukup kompeten
membidani sekjen.
Kepergian sekjen jadi pekerjaan rumah bagi Mochamad Iriawan.
Publik menanti jagoan baru yang akan dimunculkan sang Komisaris Jenderal Polisi
Indonesia. Apakah sekjen baru bakal lebih berkualitas dibanding pendahulunya,
atau malah lebih jeblok rapornya? Waktu yang bisa menjawab.
Dengan seakbrek masalah yang dihadapi, saya berharap Iwan
Bule bisa fokus bekerja on the track mengurai dan mencari solusi terbaik
menjaga kemapanan PSSI sebagai sebuah organisasi besar.
Beliau, wajib serius. Iya serius. Karena problematik yang
dihadapi PSSI bukan sesuatu yang ringan. Tak bisa diselesaikan ucapan kata-kata
manis tanpa ada langkah strategis nyata.
Bukan apa-apa jika masalah ini gagal dikendalikan, amat
mungkin terjadi akan menjadi senjata makan tuan bagi sang pria kelahiran
Jakarta, 31 Maret 1962. Ia bisa mengulang jejak kelam para pendahulunya yang
akhirnya lengser sebagai nakhoda PSSI. Tapi saya masih percaya, Iwan Bule bisa
melalui badai ini.